banner

Rabu, November 26, 2025

author photo

KH Imadudin Al-Bantani: MENANGGAPI KATA PENGANTAR K.H. SYUKRON MAKMUN

Di antara yang dikatakan oleh K.H.Syukron Makmun (SM) adalah:

―Masalah keabsahan Bani 'Alawiyah sebagai Ahli Bait Rasulullah Saw. sudah selesai. Karena Ulama Ahlus-Sunnah wal-Jama'ah secara ijmak dengan thariqah Syuhrah walIstifâdhah telah mengakui keabsahan Bani 'Alawiyah sebagai Ahli Bait Rasulullah Saw, dan tidak ada yang menyangkal. Seperti panasnya matahari tidak perlu itsbat, karena panasnya matahari sudah syuhrah wal-istifadhah.‖[1]


KH Imadudin Al-Bantani MENANGGAPI KATA PENGANTAR K.H. SYUKRON MAKMUN



KH Imadudin Al-Bantani: 
Ucapan SM yang menyatakan bahwa nasab Ba‘alwi sudah diijma ulama Ahlussunnah wa al-Jamaah itu hoaks. Klaim ijma‘ itu pertama kali dilontarkan oleh Ali al-Sakran Ba‘alwi (w.895 H.) dalam kitab Al-Burqat al-Musyiqah tanpa dalil. Lalu dihikayatkan oleh beberapa circle Ba‘alwi seperti syekh Yusuf al-Nabhani (w.1250 H.).

Ijma menurut para ulama adalah kesepakatan para ulama mujtahid dari kaum muslimin dalam suatu masa setelah wafatnya

Rasulullah SAW terhadap suatu hukum syara‘ akan suatu kejadian. Sebagaimana definisi tersebut diungkapkan oleh Abdul Wahhab Khalaf dalam kitabnya Ushul al-Fiqh:

الإتٚاع في اصطلاح الأصوليتُ: ىو اتفاق تٚيع المجتهدين من ات١سلمتُ في عصر من العصور بعد وفاة الرسول - صلى الله عليو وسلم - على حكم شرعي في واقعة.

Terjemah:

―Ijma‘ di dalam istilah para ahli ushul adalah kesepakatan seluruh ulama mujtahid dari kaum muslimin dalam suatu masa setelah wafatnya Rasulullah SAW atas suatu hukum syara‘ dalam suatu masalah.‖[2]

Dari definisi ijma itu, kita mengetahui bahwa suatu hukum bisa disebut ijma jika hukum itu disepakati oleh seluruh para ulama ahli ijtihad. Sedangkan nasab Ba‘alwi ini sejak awal kemunculannya di abad sembilan muncul hanya dari klaim mereka sendiri tidak disebut para ulama nasab dalam kitab-kitab nasab. Bahkan di Tarim sendiri banyak orang yang tidak percaya terhadap nasab mereka sebagaimana dihikayatkan sendiri oleh kitab-kitab Ba‘alwi semacam Al-Burqat alMusyiqat karya Ali bin Abubakar al-Sakran (w.895 H.) dan Gurar

Baha al-Dlau‘ karya Khirid (w.960 H.). Bagaimana suatu nasab yang sejak awal kemunculannya saja hanya dari klaim pribadi. dan orangorang yang ada di Tarim saja tidak mempercayainya bisa dikatakan telah diijma‘?

Salah satu rukun ijma‘ adalah kesepakatan itu harus terjadi sejak awal kemunculannya, sebagaimana dikatakan oleh Abdul Wahhab Khalaf:

الثاني: أن يتفق على اتٟكم الشرعي في الواقعة تٚيع المجتهدين من

ات١سلمتُ في وقت وقوعها

Terjemah:

―(Rukun) yang kedua adalah terjadinya kesepakatan ulama mujtahid dari kaum muslimin atas hukum syara‘ dalam suatu masalah saat terjadinya masalah itu‖[3]

Sedangkan waktu kejadian nasab Ba‘alwi adalah masa Ahmad bin Isa. karena yang menjadi permasalahan adalah pengakuan mereka bahwa mereka adalah keturunan Nabi melalui Ubaid ―bin‖ Ahmad bin Isa. sedangkan kitab-kitab nasab sejak masa Ubaid itu tidak ada yang mencatat ia sebagai anak Ahmad bin Isa apalagi terjadi ijma‘. Dari mana Ali al-sakran mengetahui adanya ijma‘ jika nasab mereka sama sekalai tidak disebutkan oleh para ahli nasab, padahal kitab-kitab nasab yang mencatat anak Ahmad bin Isa banyak ditulis. Bahkan kitab nasab abad ke-6 yaitu Al-Syajarah al-Mubarakah telah menetapkan anak Ahmad bin Isa yang berketurunan hanya tiga: Muhammad, Ali dan Husain. Tidak ada anak bernama Ubaid. 

 Ibnu Hazm dalam kitab Maratibul Ijma mengatakan: قالوا إتٚاع كل عصر إتٚاع صَحِيح إذا لم يتَ قَدَّم قبلو في تلكَ

المَسْأَلَة خلاف وَىَذَا ىُوَ الصَّحِيح

Terjemah:

―Para ulama berkata: Ijma‘ setiap masa bisa dikatakan ijma‘ yang shahih jika tidak didahului oleh perbedaan pendapat dalam masalah itu. ini adalah pendapat yang sahih‖.[4]

Dari situ kita mengetahui bahwa klaim ijma baik dari Ali alSakran maupun dari yang mengutipnya di waktu belakangan seperti Al-Nabhani dan Al-Muhibi tidak dapat diterima. Bahkan menurut Abdullah bin Ahmad bin Hambal bisa disebut pendusta. 

وقد نقل ابن حزم في كتابو "الأحكام" عن عبد الله بن أتٛد بن حنبل قولو :تٝعتُ أبي يقول: "وما يدعي فيو الرجل الإتٚاع ىو الكذب، ومن ادعى الإتٚاع فهو كذاب، لعل الناس قد اختلف وا

- ما يدريو - ولم ينتو إليو، فليقل: لا نعلم الناس اختلفوا".

Terjemah:

―Dan telah dikutip dari Ibnu Hazm dalam kitab-nya Al-Ahkam dari Abdullah bin Ahmad bin Hambal ucapan: Aku mendengar ayahku berkata: Apa yang diklaim seseorang tentang terjadinya ijma‘ adalah dusta. Siapa orang yang mengklaim ijma‘ adalah dusta. Bisa jadi manusia telah berbeda pendapat ia tidak tahu dan tidak sampai kepadanya. Maka hendaklah ia berkata: kami tidak mengetahu perbedaan pendapat manusia‖.[5] SM juga mengatakan:

―Masalah sejarah atau nasab yang sudah berjalan ratusan bahkan ribuan tahun termasuk (أخثار انغٍة ) berita yang kita tidak menyaksikan dengan mata kita. Kita hanya mendapat berita dari dongeng, katanya. Sejarah manuskrip yang tidak mungkin kita sampai pada haqqul yaqin atau 'ainul yaqin, kecuali kalau riwayat itu mutawatir syuhrah wal-istifadhah. Penulis sejarah hanya menulis apa yang ia tahu, apa yang ia tidak tahu bukan berarti tidak ada. Bisa saja, informasinya belum sampai kepadanya. Maka, sejarah yang lebih sempurna adalah sejarah yang datang kemudian sebab informasinya lebih lengkap.‖[6]

Kejadian masa lalu memang tidak semuanya dicatat, betul sekali yang dikatakan SM. Bahwa pula penulis sejarah hanya menulis apa yang ia tahu. Itu juga betul. Tetapi jika penulis sejarah sudah menulis di abad ke-6 H. apa yang ia tahu, misalnya bahwa Ahmad bin Isa mempunyai anak tiga: Muhammad, Ali dan Husain, maka setiap klaim di abad ke-9 H. akan adanya anak ke-4 bagi Ahmad bin Isa seperti Ubaid/Ubaidillah/Abdullah jelas tertolak. Jika SM mengatakan bahwa sejarah itu tidak qath‟iy, ya itu betul, tetapi jika sebuah penulisan yang dekat dengan kejadian saja tidak qath‟iy maka kitab Ali al-Sakran di abad ke-9 H. tentu lebih tidak qathiy lagi. Lalu apa alasan SM mempercayai yang lebih jauh masanya dengan kejadian lalu mengabaikan informasi dari orang yang lebih dekat masanya dengan kejadian?

Jika SM menulis buku bahwa kakeknya yang bernama Kiai Nawawi punya anak 5, lalu cucu SM menulis buku pula mencatat bahwa Kiai Nawawi punya anak 6. Menurut SM siapa kira-kira yang layak untuk dipercaya? SM apa cucunya? Dua-duanya tentu tidak qath‘i. tetapi tentu yang lebih mendekati kebenaran adalah tulisan SM karena jarak waktunya lebih dekat dengan kakeknya. Begitulah ilmu sejarah difahami. Ali al-Sakran mencatat Ubaid sebagai anak Ahmad itu setelah 550 tahun wafatnya Ahmad. sedangkan kitab-kitab sebelumnya hanya mencatat anak Ahmad hanya tiga dan tidak ada yang namanya Ubaid/Ubaidillah/Abdullah. Lalu menurut SM yang layak dipercaya yang mana?

MS juga mengatakan:

―Untuk menerima (اخثار انغٍة) berita yang kita tidak menyaksikan dan sudah berjalan ratusan bahkan ribuan tahun kita harus hati-hati siapa pembawa cerita itu. Kita hanya menerima berita dari para ulama, para auliyâullah, dan para habaib yang tidak diragukan keilmuannya, akhlaqul karimahnya, zuhud-nya, wara', dan bersifat dhabit dan adil: Mereka itu, seperti: Syaikh Murtadha az-Zabidi pensyarah kitab Ihya' 'Ulumuddin, Syaikh Ibnu Hajar al-Haitami seorang ulama fikih mazhab Syafi'I, Syaikh Ali Jum'ah mufti di Mesir, Syaikh Ramadhan al-Buthi seorang ulama besar di Syiria, Sayid Muhammad bin Alwy al-Maliki di Makkah al-Mukarramah, Syaikh Maulana al-Sya'rani Mesir, Syaikh Nawawi Banten, Syaikh K.H. Cholil Bangkalan, Syaikh K.H. Cholil Bangkalan,

K.H. Hasyim Asy'ari Jombang, H. Sholeh Darat Semarang,

Syaikh Yasin Padani Makkah, Syaikh Moh. Chotib alMinangkabawi, Syaikh Moh. Mahfudz al-Turmusi. Dan banyak lagi yang tidak kami sebutkan. Barang siapa yang membatalkan nasab Ba'alawi berarti sudah tidak percaya kepada para ulama dan auliyaullah yang saya sebutkan di atas‖.

Yang mengatakan anak Ahmad bin Isa hanya tiga dan tidak ada yang bernama Ubaid itu adalah ulama besar Ahlussunnah wal Jamaah, seorang ahli tafsir, ahli ushul fiqih, ahli filsafat, ahli sejarah, ahli nasab, yaitu Al Imam Fakhruddin al-Razi (w.606 H.). karangannya mencapai 200 kitab diberbagai cabang ilmu. Satu kitab saja seperti kitab Tafsir Mafatih al-Ghaib mencapai 17 jilid. Jika SM percaya bahwa ada tambahan anak Ahmad bin Isa selain Muhammad, Ali dan Husain, maka berarti SM tidak percaya lagi kepada ulama besar sekelas Imam Fakhruddin al-Razi.  


[1] Hanif dkk…h.xxxiii

[2] Abdul Wahhab Khalaf, Ushul al-Fiqh, H. 45

[3] Abdul Wahhab Khalaf…h.46

[4] Ibnu Hazm, Maratib al-Ijma, h. 11

[5] Abdul Wahhab Khallaf…49

[6] Hanif dkk…ibid

your advertise here

This post have 0 comments

Terima kasih kunjungannya, silahkan beri komentar ...
EmoticonEmoticon

Next article Next Post
Previous article Previous Post

Advertisement

Themeindie.com